Kemarau Pulau Kaninmun
Sudah setahun ini langit tak lagi
meneteskan airnya di pulau itu. Pulau yang begitu gersang bak sebuah padang
alang-alang. Polusi menyeruak
di udara, membungkam hidung masyarakat dengan zat-zat yang membahayakan bagi
tubuh mereka. Panas matahari begitu menyengat, terkadang membuat kepala pening
saat melakukan aktivitas di luar rumah. Tapi tidak untuk gadis itu.
Gadis bergaun biru itu duduk
termenung di tepi
danau. Danau yang begitu luas dan hampir mengering. Hanya ini satu-satunya
tempat yang bisa dikatakan sejuk, meski pemandangan di hadapannya tak lagi
seindah dulu. Dulu sekali. Sebelum kemarau panjang menyerang pulau itu.
Pulau Kaninmun. Sebuah pulau yang
sangat kecil yang terletak jauh di bagian selatan pulau Jawa. Sebuah pulau
kecil yang bahkan tak pernah terurus oleh pemerintah. Pulau mandiri yang
memiliki berjuta-juta kenangan, terlebih untuk Ilana.
Sebatang rating di tangannya ia arahkan ke
danau di hadapannya. Kemudian gadis itu memasukkan ranting tersebut ke sela-sela
tanah kering yang permukaannya pecah-pecah. Hal itu selalu ia lakukan untuk
menghabiskan waktu senggangnya sambil berharap akan ada mata air yang memancar
dan kembali membasahi danau itu.
Kenangan akan masa lalunya kembali
menguasai pikiran gadis itu. Di tempat ini, pada tanggal yang sama tiga bulan
yang lalu, lelaki itu meninggalkannya. Lelaki yang begitu dicintainya. Lelaki
yang selalu diimpikannya untuk tetap berada dalam masa depannya suatu hari
nanti. Tapi semua harapannya sirna. Cinta lelaki itu perlahan mulai gersang,
segersang tanah di pulau Kaninmun. Hingga mereka memutuskan perpisahan akan
menjadi jalan yang terbaik bagi mereka berdua.
Mereka
berdua? Tidak.
Tidak untuk Ilana. Itu bukan keputusan Ilana. Gadis itu tak pernah setuju
dengan perpisahan ini. Lelaki itu hanya mengatakan bahwa ia mencintai orang
lain dan Ilana tak mampu untuk mengucapkan sepatah kata pun. Dan disini, di
tempat ini, Ilana hanya mampu menatap punggung lelaki itu yang semakin menjauh
dari hadapannya. Mengakhiri cerita cinta diantara mereka dan membiarkan gadis
patah hati itu mematung meratapi kepedihan hatinya.
Kemarau panjang ini benar-benar
menyebalkan. Tiga tahun sudah Ilana tak lagi merasakan sejuknya
hujan. Selain membuat pulau Kaninmun yang
indah ini menjadi pulau gersang, kemarau ini pun membuat hati Ilana menjadi
gersang. Hanya beberapa pohon yang nyaris layu di tepu danau yang mampu
memberikan sedikit kesejukan untuk hatinya.
Setetes air menempa kepalanya,
membuat pikirannya kembali. Apakah ini air hujan? Pikir Ilana girang. Ia segera
berjingkat, menengadahkan kepalanya. Menatap langit yang begitu cerah. Bahkan
sangat cerah. Ilana nengernyitkan dahinya, menatap langit dengan penuh tanya.
Kemudian telinganya mendengar suara seseorang terkikik di belakangnya.
“Arga, apa yang kau lakukan?” Nada
Ilana seoktaf lebih tinggi. “Kau benar-benar mempermainkanku!” Gadis itu
merutuk kesal. Lelaki yang ia panggil Arga masih terkikik sambil menutup botol
air mineral di tangannya.
“Maafkan aku Ilana.” Arga melangkah,
mendekat dan mengambil duduk di samping Ilana. “Kau masih saja menghabiskan
waktumu disini. Apa karena kau masih mencoba mengenang Dio?” Mendengar Arga
nenyebut nama Dio membuat Ilana tegang.
“Tidak. Bukan begitu.” Ilana
menyandarkan kepalanya di pundak Arga. “Hanya saja aku menyukai tempat ini.
Kaninmun benar-benar kering sekarang. Dan kurasa disini adalah tempat paling
sejuk yang aku tahu.” Ilana berbohong. Ia tahu ia tak akan mampu menatap mata
sahabatnya itu saat ia berbohong.
“Aku tahu tempat lain yang sejuk
selain disini.”
Kata Arga membuat Ilana bersemangat.
“Dimana?”
“Di kamarku.” Ujar Arga membuat
binar di mata Ilana menghilang seketika.
“Jangan bercanda kau.” Gadis itu
kembali merajuk, membuat Arga kembali tertawa. Arga jauh lebih beruntung dari
Ilana. Ia dilahirkan di keluarga kaya raya, keluarga terpandang di pulau kecil
ini dan tentu saja pemilik pabrik yang menyebabkan polusi di pulau ini. Tapi
Ilana tahu, jika pabrik itu tak dibangun masyarakat Kaninmun pasti menjadi
masyarakat miskin. Terlebih saat kemarau seperti ini.
“Oke. Kali ini aku serius. Apa kau
mau ke bagian utara Kaninmun? Pantai disana cukup bagus.”
“Oh ayolah Arga, matahari begitu menyengat. Kau akan
membakar dirimu sendiri jika kau pergi ke pantai.” Ilana mendesah kecewa. Hal
itu justru baru terpikirkan oleh Arga. Yang ia pikirkan hanyalah bagaimana
membuat sahabatnya –sekaligus orang yang disukainya– itu bahagia. Karena sejak lelaki
itu meninggalkan Ilana, gadis itu hanya murung sambil menghabiskan waktunya di
danau itu.
“Lalu kau ingin ke tempat seperti
apa?” Ilana berpikir sejenak, kemudian muncul sebuah ide di kepalanya.
“Aku ingin sebuah tempat yang sejuk,
hijau alami dan segar. Ketika kuhirup udaranya, maka benar-benar udara sehat
yang masuk ke hidungku.” Ilana mengembangkan senyum di bibirnya, memejamkan
mata, sambil membayangkan tempat itu.
“Aku akan mengabulkan permintaanmu.”
Ujar Arga bangga.
“Di Kaninmun tak akan ada tempat
sebagus itu. Kau tahu tanah disini tak akan mampu menghidupkan
tanaman.” Ilana mencibir, meragukan ucapan
Arga.
“Jika nanti aku mampu mengabulkan
apa yang kau minta, bersediakah kau menikah denganku?” Ilana terkesiap
mendengar ucapan Arga.
Bukan pertama kalinya jika
sahabatnya itu meminta Ilana berpacaran dengannya, meski
akhirnya Ilana menolak.
Namun ini adalah pertama kalinya Arga meminta Ilana menikah dengannya. Sejak
dulu Arga tak pernah menyerah untuk mendapatkan hati gadis itu. Selalu
mendampinginya saat Ilana kesulitan, selalu membantu dan menyelesaikan masalah
Ilana dan tentu saja masih menjadi sahabatnya yang berbaik. Dua puluh empat
tahun yang lalu maupun sekarang. Ilana memandang Arga lekat-lekat sambil
memutuskan sesuatu.
“Baiklah. Jika kau bisa melakukannya
aku akan menikah denganmu.” Keputusan yang sejak lama ingin diucapkan oleh
Ilana. Namun terhalang pertikaian antara pikiran dan perasaannya. Hingga
akhirnya, keputusan itu telah dipilihnya. Arga membelalakkan matanya, tak
percaya dengan ucapan Ilana. Karena dia tahu, Ilana pasti akan menolaknya.
“Kenapa?” pertanyaan itu terlontar
begitu saja karena lelaki itu tak tahu harus berkata apa.
“Karena kurasa kau adalah lelaki
yang tepat untukku.” Selain itu tentu saja di usianya yang ke dua puluh enam
tahun ini ia harus segera menemukan pasangan hidupnya. Namun tak bisa
dipungkiri hampir tak ada rasa cinta di hati Ilana untuk Arga. Hanya perasaan
yang nyaman ketika berada di sisi lelaki itu.
“Bagus. Beri aku waktu seminggu. Dan
aku akan melamarmu dengan romantis dibawah rinai hujan yang mengguyur tempat
yang kau inginkan itu.” Senyuman tersungging di wajah tampan Arga.
***
Sudah tiga hari Ilana tak melihat
batang hidung Arga.
Rasa rindu semakin terpupuk di dalam hatinya. Gadis itu bertanya-tanya apakah
Arga mampu mengabulkan permintaannya yang cukup mustahil itu. Pohon-pohon hijau
hampir tak ada di Kaninmun. Tanah tandus dan gersang tak mampu membuat
pepohonan tetap hidup. Terlebih matahari yang begitu terik pada siang hari.
Ilana berhenti tepat di depan rumah
Arga. Namun ia tak memiliki keberanian untuk mengetuk rumah itu. Hingga ia
membalikkan tubuhnya dan berjalan menjauh dari rumah mewah tersebut.
“Ilana.” Panggil seorang wanita
membuat langkah Ilana terhenti. Kemudian berbalik menatap wanita yang berdiri
di depan rumah Arga. Ilana pun kembali mendekat ke rumah itu.
“Kau pasti mencari Arga. Dia sedang
sibuk membuat sesuatu di belakang.” Kata wanita setengah baya yang Ilana kenal
sebagai ibu Arga. “Untuk seorang gadis.” sang ibu menambahkan, membuat wajah
Ilana memerah. “Apa kau mau melihatnya?”
“Tidak nyonya. Kurasa sebaiknya aku
tak mengganggunya.”
“Dia sangat bersemangat. Aku tak
pernah melihatnya seperti itu. Semoga gadis pilihannya adalah gadis yang tepat.”
ibu Arga tertawa mengingat sikap anaknya.
Ilana
tersenyum, kemudian berpamitan pada ibu
Arga. Rasa penasaran menyeruak dari dalam hatinya. Apa yang sedang dilakukan oleh Arga? Kalimat tersebut
berputar-putar dalam kepalanya. Rasa penasarannya begitu besar hingga tanpa
sadar langkahnya membawa Ilana menuju pekarangan di belakang rumah Arga.
Ilana berdecak
kesal, kecewa dengan apa yang dilihatnya. Pekarangan tersebut tertutup seng
memutar hingga tak ada celah sedikitpun bagi Ilana untuk mengintip apa yang ada
di baliknya. Akhirnya Ilana melangkahkan kakinya menuju danau, tempat
favoritnya.
Pikiran Ilana tak mampu berpaling dari Arga. Jantungnya
berdebar menantikan kejutan apa yang akan di berikan oleh Arga. Dilemparnya
kerikil-kerikil kecil ke dalam danau kering untuk mengurangi rasa gugupnya.
***
Hari ini adalah hari dimana Arga
akan menepati janji yang dibuatnya. Bayangan untuk menjadi istri Arga membuat
Ilana tak berhenti mengurai senyum di bibirnya. Terlebih di usianya yang sudah
cukup mapan untuk menikah. Sudah seminggu Ilana tak melihat Arga, rasa rindu
pun semakin membuncah di dadanya.
“Ilana.” Suara maskulin yang sangat
familiar di telinganya terdengar begitu nyaring. Ilana membalik badannya,
menyaksikan lelaki yang sangat ia rindukan tengah berdiri di hadapannya.
Wajahnya begitu lelah. Matanya merah dan rambutnya begitu berantakan.
“Ikutlah denganku.” Lelaki itu
mengulurkan tangannya pada Ilana. Kemudian dengan lembut Ilana menyambut tangan
lelaki itu.
“Kau sudah selesai membuatnya?”
“Tutup matamu.” Arga menuntun gadis
itu perlahan menuju sebuah tempat yang telah dipersiapkan sejak seminggu yang
lalu. Bau yang begitu segar menusuk hidung Ilana. Gadis itu menghirup udara
tesebut dalam-dalam. Tetesan air mulai membasahi tubuh wajah, kemudian Ilana
segera membuka matanya.
“Maaf karena aku tak bisa membuat
hujan untukmu.” Ujar Arga. “Tapi kurasa air ini cukup membuat wajahmu lebih
segar.” Ia melanjutkan kalimatnya sambil menunjukkan sebotol air mineral di
tangan kirinya.
Ilana tersenyum, kemudian
mengedarkan pandangannya pada pemandangan di sekelilingnya. Ia terperangah memandang
pepohonan yang tumbuh berjajar begitu segar. Bunga-bunga berwana-warni
terhampar di pekarangan yang cukup luas itu. Pekarangan gersang itu telah
berubah menjadi sebuah kebun yang begitu teduh, sejuk dan indah. Ilana tak
pernah menyangka bahwa hal seindah ini akan tercipta di Kaninmun.
“Apakah ini benar-benar nyata?”
Tanya Ilana heran.
“Tentu saja. Dan Ilana, apakah kau
bersedia untuk menikah denganku?” Arga berlutut di hadapan Ilana dengan sebuket
bunga di tangannya. Semburat kemerahan terlihat jelas di wajah Ilana. Dengan
seulas senyum tersipu, Ilana mengangguk pelan.
“Ya, aku mau menikah denganmu.”
Comments
Post a Comment