Wednesday, September 26, 2018

Kemarau Pulau Kaninmun




Sudah setahun ini langit tak lagi meneteskan airnya di pulau itu. Pulau yang begitu gersang bak sebuah padang alang-alang. Polusi menyeruak di udara, membungkam hidung masyarakat dengan zat-zat yang membahayakan bagi tubuh mereka. Panas matahari begitu menyengat, terkadang membuat kepala pening saat melakukan aktivitas di luar rumah. Tapi tidak untuk gadis itu.
Gadis bergaun biru itu duduk termenung di tepi danau. Danau yang begitu luas dan hampir mengering. Hanya ini satu-satunya tempat yang bisa dikatakan sejuk, meski pemandangan di hadapannya tak lagi seindah dulu. Dulu sekali. Sebelum kemarau panjang menyerang pulau itu.
Pulau Kaninmun. Sebuah pulau yang sangat kecil yang terletak jauh di bagian selatan pulau Jawa. Sebuah pulau kecil yang bahkan tak pernah terurus oleh pemerintah. Pulau mandiri yang memiliki berjuta-juta kenangan, terlebih untuk Ilana.
 Sebatang rating di tangannya ia arahkan ke danau di hadapannya. Kemudian gadis itu memasukkan ranting tersebut ke sela-sela tanah kering yang permukaannya pecah-pecah. Hal itu selalu ia lakukan untuk menghabiskan waktu senggangnya sambil berharap akan ada mata air yang memancar dan kembali membasahi danau itu.
Kenangan akan masa lalunya kembali menguasai pikiran gadis itu. Di tempat ini, pada tanggal yang sama tiga bulan yang lalu, lelaki itu meninggalkannya. Lelaki yang begitu dicintainya. Lelaki yang selalu diimpikannya untuk tetap berada dalam masa depannya suatu hari nanti. Tapi semua harapannya sirna. Cinta lelaki itu perlahan mulai gersang, segersang tanah di pulau Kaninmun. Hingga mereka memutuskan perpisahan akan menjadi jalan yang terbaik bagi mereka berdua.
Mereka berdua? Tidak. Tidak untuk Ilana. Itu bukan keputusan Ilana. Gadis itu tak pernah setuju dengan perpisahan ini. Lelaki itu hanya mengatakan bahwa ia mencintai orang lain dan Ilana tak mampu untuk mengucapkan sepatah kata pun. Dan disini, di tempat ini, Ilana hanya mampu menatap punggung lelaki itu yang semakin menjauh dari hadapannya. Mengakhiri cerita cinta diantara mereka dan membiarkan gadis patah hati itu mematung meratapi kepedihan hatinya.
Kemarau panjang ini benar-benar menyebalkan. Tiga tahun sudah Ilana tak lagi merasakan sejuknya hujan. Selain membuat pulau Kaninmun yang indah ini menjadi pulau gersang, kemarau ini pun membuat hati Ilana menjadi gersang. Hanya beberapa pohon yang nyaris layu di tepu danau yang mampu memberikan sedikit kesejukan untuk hatinya.
Setetes air menempa kepalanya, membuat pikirannya kembali. Apakah ini air hujan? Pikir Ilana girang. Ia segera berjingkat, menengadahkan kepalanya. Menatap langit yang begitu cerah. Bahkan sangat cerah. Ilana nengernyitkan dahinya, menatap langit dengan penuh tanya. Kemudian telinganya mendengar suara seseorang terkikik di belakangnya.
“Arga, apa yang kau lakukan?” Nada Ilana seoktaf lebih tinggi. “Kau benar-benar mempermainkanku!” Gadis itu merutuk kesal. Lelaki yang ia panggil Arga masih terkikik sambil menutup botol air mineral di tangannya.
“Maafkan aku Ilana.” Arga melangkah, mendekat dan mengambil duduk di samping Ilana. “Kau masih saja menghabiskan waktumu disini. Apa karena kau masih mencoba mengenang Dio?” Mendengar Arga nenyebut nama Dio membuat Ilana tegang.
“Tidak. Bukan begitu.” Ilana menyandarkan kepalanya di pundak Arga. “Hanya saja aku menyukai tempat ini. Kaninmun benar-benar kering sekarang. Dan kurasa disini adalah tempat paling sejuk yang aku tahu.” Ilana berbohong. Ia tahu ia tak akan mampu menatap mata sahabatnya itu saat ia berbohong.
“Aku tahu tempat lain yang sejuk selain disini. Kata Arga membuat Ilana bersemangat.
“Dimana?”
“Di kamarku.” Ujar Arga membuat binar di mata Ilana menghilang seketika.
“Jangan bercanda kau.” Gadis itu kembali merajuk, membuat Arga kembali tertawa. Arga jauh lebih beruntung dari Ilana. Ia dilahirkan di keluarga kaya raya, keluarga terpandang di pulau kecil ini dan tentu saja pemilik pabrik yang menyebabkan polusi di pulau ini. Tapi Ilana tahu, jika pabrik itu tak dibangun masyarakat Kaninmun pasti menjadi masyarakat miskin. Terlebih saat kemarau seperti ini.
“Oke. Kali ini aku serius. Apa kau mau ke bagian utara Kaninmun? Pantai disana cukup bagus.”
“Oh ayolah Arga, matahari begitu menyengat. Kau akan membakar dirimu sendiri jika kau pergi ke pantai.” Ilana mendesah kecewa. Hal itu justru baru terpikirkan oleh Arga. Yang ia pikirkan hanyalah bagaimana membuat sahabatnya –sekaligus orang yang disukainya itu bahagia. Karena sejak lelaki itu meninggalkan Ilana, gadis itu hanya murung sambil menghabiskan waktunya di danau itu.
“Lalu kau ingin ke tempat seperti apa?” Ilana berpikir sejenak, kemudian muncul sebuah ide di kepalanya.
“Aku ingin sebuah tempat yang sejuk, hijau alami dan segar. Ketika kuhirup udaranya, maka benar-benar udara sehat yang masuk ke hidungku.” Ilana mengembangkan senyum di bibirnya, memejamkan mata, sambil membayangkan tempat itu.
“Aku akan mengabulkan permintaanmu.” Ujar Arga bangga.
“Di Kaninmun tak akan ada tempat sebagus itu. Kau tahu tanah disini tak akan mampu menghidupkan tanaman.” Ilana mencibir, meragukan ucapan Arga.
“Jika nanti aku mampu mengabulkan apa yang kau minta, bersediakah kau menikah denganku?” Ilana terkesiap mendengar ucapan Arga.
Bukan pertama kalinya jika sahabatnya itu meminta Ilana berpacaran dengannya, meski akhirnya Ilana menolak. Namun ini adalah pertama kalinya Arga meminta Ilana menikah dengannya. Sejak dulu Arga tak pernah menyerah untuk mendapatkan hati gadis itu. Selalu mendampinginya saat Ilana kesulitan, selalu membantu dan menyelesaikan masalah Ilana dan tentu saja masih menjadi sahabatnya yang berbaik. Dua puluh empat tahun yang lalu maupun sekarang. Ilana memandang Arga lekat-lekat sambil memutuskan sesuatu.
“Baiklah. Jika kau bisa melakukannya aku akan menikah denganmu.” Keputusan yang sejak lama ingin diucapkan oleh Ilana. Namun terhalang pertikaian antara pikiran dan perasaannya. Hingga akhirnya, keputusan itu telah dipilihnya. Arga membelalakkan matanya, tak percaya dengan ucapan Ilana. Karena dia tahu, Ilana pasti akan menolaknya.
“Kenapa?” pertanyaan itu terlontar begitu saja karena lelaki itu tak tahu harus berkata apa.
“Karena kurasa kau adalah lelaki yang tepat untukku.” Selain itu tentu saja di usianya yang ke dua puluh enam tahun ini ia harus segera menemukan pasangan hidupnya. Namun tak bisa dipungkiri hampir tak ada rasa cinta di hati Ilana untuk Arga. Hanya perasaan yang nyaman ketika berada di sisi lelaki itu.
“Bagus. Beri aku waktu seminggu. Dan aku akan melamarmu dengan romantis dibawah rinai hujan yang mengguyur tempat yang kau inginkan itu.” Senyuman tersungging di wajah tampan Arga.
***
Sudah tiga hari Ilana tak melihat batang hidung Arga. Rasa rindu semakin terpupuk di dalam hatinya. Gadis itu bertanya-tanya apakah Arga mampu mengabulkan permintaannya yang cukup mustahil itu. Pohon-pohon hijau hampir tak ada di Kaninmun. Tanah tandus dan gersang tak mampu membuat pepohonan tetap hidup. Terlebih matahari yang begitu terik pada siang hari.
Ilana berhenti tepat di depan rumah Arga. Namun ia tak memiliki keberanian untuk mengetuk rumah itu. Hingga ia membalikkan tubuhnya dan berjalan menjauh dari rumah mewah tersebut.
“Ilana.” Panggil seorang wanita membuat langkah Ilana terhenti. Kemudian berbalik menatap wanita yang berdiri di depan rumah Arga. Ilana pun kembali mendekat ke rumah itu.
“Kau pasti mencari Arga. Dia sedang sibuk membuat sesuatu di belakang.” Kata wanita setengah baya yang Ilana kenal sebagai ibu Arga. “Untuk seorang gadis.” sang ibu menambahkan, membuat wajah Ilana memerah. “Apa kau mau melihatnya?”
“Tidak nyonya. Kurasa sebaiknya aku tak mengganggunya.”
“Dia sangat bersemangat. Aku tak pernah melihatnya seperti itu. Semoga gadis pilihannya adalah gadis yang tepat.” ibu Arga tertawa mengingat sikap anaknya.
Ilana tersenyum,  kemudian berpamitan pada ibu Arga. Rasa penasaran menyeruak dari dalam hatinya. Apa yang sedang dilakukan oleh Arga? Kalimat tersebut berputar-putar dalam kepalanya. Rasa penasarannya begitu besar hingga tanpa sadar langkahnya membawa Ilana menuju pekarangan di belakang rumah Arga.
Ilana berdecak kesal, kecewa dengan apa yang dilihatnya. Pekarangan tersebut tertutup seng memutar hingga tak ada celah sedikitpun bagi Ilana untuk mengintip apa yang ada di baliknya. Akhirnya Ilana melangkahkan kakinya menuju danau, tempat favoritnya.
            Pikiran Ilana tak mampu berpaling dari Arga. Jantungnya berdebar menantikan kejutan apa yang akan di berikan oleh Arga. Dilemparnya kerikil-kerikil kecil ke dalam danau kering untuk mengurangi rasa gugupnya.
***
            Hari ini adalah hari dimana Arga akan menepati janji yang dibuatnya. Bayangan untuk menjadi istri Arga membuat Ilana tak berhenti mengurai senyum di bibirnya. Terlebih di usianya yang sudah cukup mapan untuk menikah. Sudah seminggu Ilana tak melihat Arga, rasa rindu pun semakin membuncah di dadanya.
            “Ilana.” Suara maskulin yang sangat familiar di telinganya terdengar begitu nyaring. Ilana membalik badannya, menyaksikan lelaki yang sangat ia rindukan tengah berdiri di hadapannya. Wajahnya begitu lelah. Matanya merah dan rambutnya begitu berantakan.
            “Ikutlah denganku.” Lelaki itu mengulurkan tangannya pada Ilana. Kemudian dengan lembut Ilana menyambut tangan lelaki itu.
            “Kau sudah selesai membuatnya?”
            “Tutup matamu.” Arga menuntun gadis itu perlahan menuju sebuah tempat yang telah dipersiapkan sejak seminggu yang lalu. Bau yang begitu segar menusuk hidung Ilana. Gadis itu menghirup udara tesebut dalam-dalam. Tetesan air mulai membasahi tubuh wajah, kemudian Ilana segera membuka matanya.
            “Maaf karena aku tak bisa membuat hujan untukmu.” Ujar Arga. “Tapi kurasa air ini cukup membuat wajahmu lebih segar.” Ia melanjutkan kalimatnya sambil menunjukkan sebotol air mineral di tangan kirinya.
            Ilana tersenyum, kemudian mengedarkan pandangannya pada pemandangan di sekelilingnya. Ia terperangah memandang pepohonan yang tumbuh berjajar begitu segar. Bunga-bunga berwana-warni terhampar di pekarangan yang cukup luas itu. Pekarangan gersang itu telah berubah menjadi sebuah kebun yang begitu teduh, sejuk dan indah. Ilana tak pernah menyangka bahwa hal seindah ini akan tercipta di Kaninmun.
            “Apakah ini benar-benar nyata?” Tanya Ilana heran.
            “Tentu saja. Dan Ilana, apakah kau bersedia untuk menikah denganku?” Arga berlutut di hadapan Ilana dengan sebuket bunga di tangannya. Semburat kemerahan terlihat jelas di wajah Ilana. Dengan seulas senyum tersipu, Ilana mengangguk pelan.
            “Ya, aku mau menikah denganmu.”